Welcome

Kamis, 14 Oktober 2010

Cerpen Persahabatan

The Nekat Traveler


(Ini pengalaman berharga untuk pelajaraan hidup agar kita bisa menjadi orang yang lebih baik di masa yang akan datang)

(Dikutip dari sebuah kisah nyata, tepatnya terjadi pada bulan Januari 2010. Ini kisah nekat (The nekat traveler) dari 7 orang mahasiswa Unsri yang punya rencana mau liburan semester ganjil tahun itu dengan biaya pas-pasan. Rencana kami mau jalan-jalan murah, hemat dan irit ala Backpacker gitu. Tapi apa daya rencana tinggal rencana. Benar kata orang manusia hanya bisa berencana tapi Allah lah yang memutuskannya).



Wajah-Wajah Anak Malang Yang Akan Tertinggal Kereta

Kami bertujuh adalah sahabat satu Fakultas sebuah Universitas Negeri di Sumatera Selatan. Bulan Januari saat itu setelah melewati ujian semester yang sangat menguras otak kami semua berencana untuk melakukan liburan untuk penyegaran otak.

Pagi yang segar di hari sabtu tibalah saatnya kami berangkat. Pagi yang indah, aku bangun dari tempat tidurku dan langsung bergegas mandi lalu berangkat menuju stasiun kereta.

Liburan yang sudah kami rencanakan jauh-jauh hari itu aku sambut dengan sangat antusias karena inilah perjalanan pertamaku menujuh Bandung setelah bertahun-tahun merencanakannya.

Enam temanku yang lain Abi, Ari, Edison, Dian, Niko dan Ismail sudah menunggu di stasiun kereta, tepat pukul 08:00 wib aku tiba di stasiun kereta. Semua teman sudah menanti di sana dengan perasaan kecewa dan kesal karena aku telat, “kemano bae yan?? Alangkeh paginyo kau sampe..”, kata Abi dengan logat Palembangnya yang kental bertanya kepadaku, “maaf bro, biaso nah jalanan macet.”, aku menjawabnya dengan segala macam alasan. Untungnya kereta belum berangkat. Kami sempat bercengkrama dengan kakak-kakak tingkat yang kami temui di Stasiun Kertapati mereka semua juga akan melakukan perjalanan menggunakan kereta menuju Linggau.

Perjalanan mengunakan kereta ini sudah kami rencanakan jauh-jauh hari dengan alasan penghematan biaya karena biaya menggunakan kereta siang ke Lampung hanya 15 ribu rupiah dan kemudian kami akan menyabung dengan menggunakan kendaraan lainnya hingga nanti sampai di Kota Bandung. Yah kira-kira perjalanan ini semacam liburan ala bacpackerlah.

“Sudah jam 9 ni!”, aku bilang dengan teman-teman. Lalu kami semua bergegas menujuh ke kereta. Kemudian di tengah jalan si Edison salah satu teman kami berhenti sejenak di warung untuk membeli bekal persiapan untuk di kereta, perlu diketahui teman kami yang bernama Edison ini adalah orang yang memiliki perhitungan sangat tinggi, sehingga saat mau membeli bekal di warung itu diperlukan tawar menawar yang sangat alot apalagi warung-warung yang ada di dalam stasiun kereta menjual barang dagangannya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga sewajarnya, “sorry bae aku nak beli mahal-mahal, dak galak rugi aku”, kata Edison.

Lama menunggu Edison, kami kesal, lalu Niko menegurnya agar segerah lekas menyelesaikan transaksi jual beli tersebut, “ayo Son cepat dikit, ntar keretanya berangkat”, kata Niko, “iyoh bentar lagi”, kata Edison. Dan tahukah kalian setelah sekian lama menunggu, Edison hanya membeli sebotol aqua. “Dasar Edison perhitungan banget sih loh!!”, kata Dian, “nak ngapo Yan?? dak galak rugi aku”, kata Edison dengan logat Palembannya.

Perjalanan kami lanjutkan menuju ke kereta tiba-tiba ada salah satu pegawai di stasiun bertanya dengan kami, “mau kemana dek?”, kami menjawab “mau ke Lampung pak.”, Bapak tadi menjawab, “ohh kereta Lampung barusan berangkat, sudah ke Linggau aja”, kami jawab lagi, “gak apa Pak kami kejar aja keretanya” sambil tertawa dalam hati, ah bapak ini mau bercanda, “lemak bae nak ngolai kami, emangnyo kami budak kecik”, kata Ari sedikit bercanda dengan bahasa Palembangnya.

Saat sampai ditempat kereta kami heran mana kereta yang akan membawak kami ke Lampung, biasanyakan kereta ke Lampung berada disebelah kiri stasiun dan kereta Linggau di sebelah kanan, nah saat itu kereta ke Lampung tidak ada. Kami heran apakah kereta Lampung sudah pindah parkiran? dalam hati kami emangnya angkot parkir sembarangan, ataukah kereta tersebut masih berada di garasinya?

Lalu kami temui lagi bapak yang tadi, kami betanya, ”pak mana kereta ke Lampung?”, bapak itu menjawab, ”sudah berangkat dek, barusan berangkat, tadikan sudah saya kasih tahu??”. Kami semua sejenak tegak dan terdiam karena bingung, lalu bertanya lagi, “yang bener pak?”, Bapak petugas menjawab lagi, “ bener dek, barusan berangkat”.

Aaahh,  kami semua bingung, lesu, dan seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi, rencana kami liburan hemat dan murah tersebut langsung lenyap, seperti kata seorang pujangga lama dari salah satu dinasti di Cina rencana kami saat itu, “bak embun yang menguap di pagi hari.”

Owh no, perasaan kami semua sangat campur aduk, sampai-sampai kami berlari ke ujung rel berniat mengejar kereta tersebut yang siapa tahu masih bisa terkejar walaupun itu tak mungkin karena memang kereta itu sudah pergi jauh dan tidak terlihat lagi bahkan suaranya pun sudah tak ada.

Bingung kalau sudah begini harus berbuat apa lagi. Diselah-selah kepanikan itu terbersit ide dari ku untuk mengajak teman-temanku menunggu kereta malam pukul 21:00 wib, tapi teman-teman tidak setuju dengan ide itu.

Aku bingung, tak mungkin bagiku untuk pulang lagi ke rumah, apa jadinya bila aku harus pulang lagi ke rumah pada hari dan jam tersebut karena aku sudah berpamitan dengan seluruh keluarga dan tetangga bahwa aku akan berangkat ke Bandung hari itu. Malu rasanya bila harus pulang lagi, dalam pikiranku sudah terbayang apa yang akan terjadi bila aku pulang ke rumah, mama pasti akan marah sambil mengejek kelakuan bodoh ku itu, pastilah kata mama dengan logat Palembangnya, “itulah bange nian jadi wong, madaki pacak ketinggalan kereta, lolo nian, itulah galak-galak igo, sudah-sudalah tiduk bae di rumah jangan banyak igo rencano!!”, wah membayangkan apa yang akan mama keluarkan dari mulutnya yang mungkin tidak akan berhenti 7 hari 7 malam itu makin membuatku berkeras untuk melanjutkan perjalanan hari itu juga.

Ternyata apa yang aku pikirkan itu juga ada dibenak semua teman-temanku, mereka juga malu jika harus pulang lagi ke rumah hari itu, apalagi Niko yang sudah berpamitan dengan kekasihnya, tak bisa dibayangkan betapa malunya Niko di depan kekasihnya bila harus pulang lagi, lebih-lebih mereka sudah berpamitan bak seorang kekasih yang akan pergi meninggalkan isterinya ke medan perang, oohh so sweet.

Kami betujuh berkumpul untuk menyatukan semua ide menjadi solusi yang kami anggap terbaik saat itu. Akhirnya munculah ide untuk mengejar kereta itu, entah darimana munculnya ide itu tapi sungguh itu adalah ide yang sangat buruk setelah kami mengenang peristiwa tersebut selang beberapa bulan pasca dari kejadian itu. Mengejar kereta itu adalah perbuatan yang sia-sia aku sarankan jangan pernah untuk kalian coba, “Don’t try at home!!!”

Keputusan kami untuk mengejar kereta itu disambut hangat oleh para preman, calo dan supir travel gadungan, mata-mata busuk mereka menatap kami tajam seolah kami adalah mangsa empuk yang mampir sendiri ke pemangsanya. Kami adalah uang yang sedang berjalan dan menari-nari di mata busuk mereka. Mereka semua bersekongkol menjadi satu kesatuan yang kuat. Bagi mereka inilah peluang meraup untung besar dari 7 mahasiswa bodoh yang ditinggal kereta.

Lalu mapirlah seorang preman bersama majikannya yang seorang Cina berumur kurang lebih 50 tahun anggaplah orang itu kami panggil Apek (bukan nama sebenarnya. Red). Terjadi negosiasi yang singkat karena saat itu otak kami tidak dapat bekerja cukup baik untuk bernegosiasi. Dapatlah kami mobil panter merah yang dikemudikan oleh Apek bersama kondekturnya si preman yang punya tampang gag jelas itu.

Selama perjalanan kami terus dihantui perasaan gugup dan bertanya-tanya dimanakah letak kereta itu sekarang. Biasanya dihutan para hunter berburu rusa dan Indiana Jones berburu harta, lah kami 7 orang mahasiswa Unsri berburu kereta yang meninggalkan kami sungguh ini perbuatan yang konyol sekali.

Lima belas menit kami lalui sampailah di stasiun Simpang, kami sempat melihat kereta ke Lampung, namu karena kereta itu tak berhenti lama membuat kami ragu untuk menggarinya ke sana, akhirnya kami putuskan untuk terus mengejar kereta itu ke stasiun Pay Kabung. Ternyata ini adalah keputusan yang sangat ceroboh karena nantinya sepanjang perjalanan kami tak akan pernah lagi menjumpai kereta itu. Lagi-lagi ini keputusan yang sangat kami sesalkan dikemudian hari pasca peristiwa ini.

Stasiun ke dua yang kami kunjungi dalam rangka mengejar kereta itu adalah stasiun Pay Kabung yang berjarak kurang lebih 20 km dari stasiun Simpang. Sampai di sana kami kira kereta itu belum tiba, kami tunggu kereta itu sejenak di depan stasiun tersebut namun 5 menit berlalu kereta tak kunjung tiba lalu datanglah petugas dalam stasiun itu menghampiri kami lalu dia bertanya, ada apa dek?”, kami semua menjawab “apakah kereta Lampung belum tiba pak?”, bapak petugas menjawab, “oh kereta Lampung sudah berangkat 5 menit yang lalu”, aahh!!! kami semua terkejut, lama-lama menunggu ternyata keretanya sudah lama pergi, lalu kami lanjutkan perjalanan tersebut ke stasiun kereta berikutnya dengan tergesa-gesa.

Sampai di stasiun Gelumbang pukul setengah 12 dalam hati kereta itu tiba pukul berapa. Dan lagi-lagi keretanya sudah lama pergi setelah kami tanyakan dengan salah satu pegawai di stasiun tersebut. Lalu kami pikir tidak mungkin lagi untuk mengejar kereta itu satu-satu disetiap stasiun yang kami lewati, aku maju ke depan berbicara dengan si Apek bahwa kami ingin langsung mengejar kereta itu ke Praumulih karena menurut jadwal kereta itu akan tiba di prabumulih sekitar pukul satu siang. Untuk ke Parbumulih si Apek mintak dana tambahan 50 ribu per orang, “gila bener ni orang, pengen cepet naik haji apa!!” kami semua terkejut, lalu kami bernegosiasi dengan Apek dan kondekturnya si preman yang punya tampang gag jelas tersebut, didapatlah kesepakatan 50 ribu per tujuh orang untuk melanjutkan perjalanan menujuh Prabumulih.

Saat perjalanan akan dilanjutkan eehh mobil Apek mogok, oohh Tuhan dosa apa yang kami sudah perbuat, sudah jatuh tertimpa tangga masuk comberan pula. Lama dikutak-katik mobil itu belum hidup juga lalu kami dipintak Apek untuk mendorong mobilnya atas dasar prikemanusiaan dan karena tuntutan mengejar waktu kami semua turun mendorong mobil itu, 50 meter didorong barulah mobil itu hidup, perjalanan kemudian kami lanjutkan.

Sebenarnya kami takut untuk ke Prabumulih, bukan apa-apa di Prabumulih ada Malis salah satu teman kami di kampus yang suka “ngatoi”, kami takut kalau sampai Malis tahu aib kami ketinggalan kereta bisa-bisa berita ini akan segerah menyebar sesaentaro kampus, wah bisa rusak nama baik kami semua.

Rasa yakin dapat mengejar kereta itu di Prabumulih sempat ada di pikiran kami, karena menurut perhitungan kami sampai ke Prabumulih hanya memakan waktu 1 jam dari Gelumbang dan saat itu jam masih menunjukkan pukul 11:45 wib sedangkan kereta akan berhenti di stasiun Prabumulih pukul 13:00 wib. Namun kenyataanya, dalam perjalanan si Apek mengemudikan mobilnya sangat lamban sekali, kami sudah berulang kali menyuruhnya untuk bergerak lebih cepat tapi apa yang dibilang si Apek “maaf aku gag berani kalau harus mengemudikan mobil ini lebih cepat lagi, apalagi aku baru kali ini mengemudikan mobil ke Prabumulih.”, waduh ternyata kami salah pilih driver, seharunya tadi kami memilih driver yang mantan pembalap, si Apek ternyata hanya seorang amatir dia tidak memiliki nyali untuk mengemudikan mobilnya dengan lebih cepat lagi bahkan motor yang berada di depannya saja tak berani didahuluinya. “lemak naik sepeda bae kalu cak ini ceritonyo, alangke lambetnyo oiii”, kata Abi dengan kesalnya dia menggrutuk.

Oh pupus sudah harapan kami untuk bisa mengejar kereta Lampung di stasiun Prabumulih, selain si Apek tak punya nyali membalap dia juga tak tahu jalan sehingga sepanjang jalan dia banyak dituntun oleh kami semua di dalam mobil itu. “Gila banget!!”, kata kami semua, disaat kami butuh yang cepat-cepat, eehh si Apek tidak berani ngebut dan tak tahu jalan, “dasar Apek Tongseng!!!”, kataku dalam hati. Kami cuma bisa sabar dan berharap Apek bisa kerasukan roh Rossi atau Schumacher supayah berani ngebut, tapi laju mobil masih statis, tidak bertambah cepat melainkan bertambah lamban.

Secerca harapan sempat mucul lagi, saat sampai di kota Prabumulih kami sempat melihat kereta Lampung dari kejauhan. “cepat dikit pak!!”, sahut kami. “Yah yah”, kata Apek. Ngebutlah Apek untuk pertama kalinya, tapi sesampai di stasiun Prabumulih baru saja kaki kami mengijakan kaki di tanah kereta Lampung sudah berangkat lagi, oohh tidak kali ini lebih menyakitkan daripada saat tertinggal di Kertapati karena kali ini kereta Lampung pergi tepat di depan mata kami dan kami tidak sempat lagi untuk mengejarnya, apalagi urusan pembayaran dengan Apek belum tuntas tidak mungkinlah kami tinggalkan saja Apek begitu saja sebelum membayar ongkos dengannya.

Lalu kami tuntaskan urusan pembayaran ongkos sewa mobil yang tak mampu melaju hingga 100 km/jam itu dengan Apek. Berat rasanya mengeluarkan uang untuk membayar sewa mobil dengan Apek itu karena semua uang yang kami keluarkan serasa sia-sia. Uang sudah banyak keluar tapi keretanya tak terkejar, rasa tak ikhlas melanda semuanya, kami bayar uang itu namun dalam hati kami mengumpat, “ni Pek ambil uangya tapi kami gag ikhlas, gag jadi daging buat loh.”.

Sebagai pemuda modern yang gaul dan selalu update dalam perkembangan jaman rasanya kurang afdol bila kami tidak update status FB untuk mengutarakan isi hati kami saat itu. Berbagai umpatan dan kata-kata kotor keluar dari status FB kami, apalagi status FB Edison sudah kayak tong sampah karena semua isinya adalah kata-kata kotor.

Teman-temanku yang berwajah kusut, kusam, lesu, tanpa semangat dan frustasi itu ku ajak untuk istirahat dahulu di rumah Tante ku yang ada di Prabumulih. Semuanya mau dengan ajakan ku itu. Aku telpon Tanteku untuk menjemput kami di stasiun Prabumulih.

Tak lama kemudian suami dari Tanteku datang menjemput kami. Aku ceritakan semua pengalaman kami selama dijalan kepada Om ku itu, “hahaha..” Om ku tertawa mendengar cerita kami yang mengejar kereta itu, “sungguh konyol”, kata Om ku.

Sampai di rumah Tanteku kami semua istirahat karena kelelahan. Kemudian kami merencanakan tujuan kami selanjutnya, kami harus mengatur ulang rencana pertama kami yang sudah hancur berantakan itu. Akhirnya dapat lagi solusi baru kami semua sepakat untuk langsung berangkat ke Lampung malam itu juga dengan menggunakan kereta bisnis pukul 11 malam ini walaupun harus mengeluarkan uang cukup banyak seharga 60 ribu rupiah teman-teman tetap berkeras berangkat karena kami semua mengejar target harus sampai di Lampung pada hari sabtu. “Jangan sampe oii kito ketinggalan kereta lagi, pas-pasan nian duit aku, dak pacak balek agek aku”, kata Ismail dengan bahasa Palembangnya.

Pukul 20:30 wib kami berpamitan dengan Tanteku untuk kembali melanjutkan perjalanan kami, saat berpamitan aku mendapatkan “salam tempel” dari Tanteku untuk membeli karcis tiket bisnis, “Alhamdulillah”, kataku dalam hati.

Kami tiba di stasiun kereta pukul 21:00 wib sedangkan kereta baru berangkat pukul 23:00 wib, itu kami lakukan karena trauma takut tertinggal kereta lagi.

Dua jam kami menunggu di stasiun, situasi saat itu hujan gerimis dan kadang-kadang bertambah agak deras disertai juga dengan perasaan waswas takut bertemu Malis, kami terus mengawasi semua orang yang berlalu-lalang di depan kami, siapa tahu salah satu dari penjual bongkol adalah Malis yang sedang menyamar, kata Dian “gawat juga nih kalau Malis diam-diam nyamar jadi penjual bongkol.”, “hahahaha…”, kami tertawa mendengar guyonan Dian, kami tertawa dalam kesedihan tapi itu adalah tawa kami yang sangat tulus.

Raut Muka Kami Saat Menunggu Kereta Pukul 23:00 wib

Dua jam yang melelahkan kami lewati, aku sangat lelah dan mengantuk menunggu kereta yang tak kunjung tiba, sesekali aku tertidur di pingiran jalan. Sudah lewat pukul 23:00 wib kereta belum juga tiba, Ismail yang sudah tidak tahan lagi menunggu bertanya dengan salah satu petugas di stasiun, ”pak jam berapa kereta datang?”, Bapak petugas menjawab, ”bentar lagi dek, ni lagi menuju kesini, sabar yah??”,
Lima belas menit kemudian kereta barulah tiba, biasa pelayanan publik di Indonesia harus dimaklumi, seperti kata temanku Ari, “giliran kita telat keretanya pergi duluan, ehh giliran kita tepat waktu keretanya datang terlambat..!!”, intinya keluhan Ari itu adalah harapan agar fasilitas publik di Negara kita tercinta ini dapat terjadwal jelas dan tepat waktu.

Kami masuk ke dalam kereta yang baru saja tiba, aku lega dan semua teman-teman juga lega, akhirnya kami masuk juga ke dalam kereta setelah seharian mengejarnya walaupun ini kereta yang berbeda.
Semua barang kami simpan dengan rapi. Satu persatu temanku sudah terlarut dalam dunia mimpi mereka masing-masing, dan akupun akan segera menyusulnya, sebelum tidur tak lupa aku ucapkan “selamat malam teman-teman seperjuanganku”, dan pada Abi teman sebangku ku, “bi tolong jaga aku baik-baik yaahh,, hehe, malam ini kau jaga pos dulu”, aku pun lelap tertidur menyusul teman-temanku yang sudah lelap duluan.

By Adrian Fajriansyah 11/10/2010

Lenggak Lenggok Wong Palembang

Lenggak Lenggok Di Pinggiran Sungai Musi


Kebersamaan Di Pinggir Sungai Musi

Sungai musi adalah jatung hati kota Palembang. Sungai musi dan masyarakat Palembang adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Hubungan rakyat Palembang dan Sungai Musi sudah terjalin sangat lama bahkan sebelum datangnya koloni Belanda. Di sungai inilah dahulu kala armada-armada kerajaan Sriwijaya berjaya. Hingga kini Sungai Musi masih menjadi tokoh sentral dalam denyut nadi kehidupan warga Palembang khususnya.

Hampir segala aktivitas kehidupan dilakukan orang Palembang di Sungai Musi. Apabila kita menyelusuri pesisir sungai dapat kita temui berbagai macam aktivitas yang dilakukan masyarakat sekitar sungai seperti yang terlihat dari foto, mulai dari mandi, para ibu mencuci pakaian, anak-anak bermain riang berenang ke sana dan ke mari, sedangkan bapak-bapak sibuk melaut dengan paruhnya (mencari ikan di sungai musi) untuk nafkah bagi keluarganya, ataupun sekedar memancing mencari ikan untuk lauk makan di rumah bersama keluarga tercinta.

Dari sana dari foto ini dapat kita lihat dan kita bayangkan campura aduk aktivitas yang dilakukan orang-orang di Sungai Musi. Di Sungai Musi semua ada, orang mencari keceriaan, menemukan kebersamaan, memeras keringat mencari nafkah untuk keluarga, suka dan duka semuanya hadir di sungai tercinta ini, bahkan cinta pun dapat terjalin di sungai ini.

Tak bisa dibayangkan bila air sungai ini tercemar semua aktivitas yang biasa dilakukan oleh rakyat sekitar akan mati dan kehidupan sekitar pesisir Sungai Musi pun akan punah. Gejala pencemaran air sungai ini pun sekarang mulai terlihat, banyak air anak-anak sungai dari sungai musi yang mengering, mendangkal dan tercemar limbah terutama limbah keluarga dan bila ini terus dibiarkan dari hari ke hari akan berdampak buruk bagi Sungai Musi itu sendiri.

Lihatlah di foto ini, dapat kita lihat banyak sampah berserakan di pinggiran Sungai Musi, rakyat sekitar banyak yang tidak peduli dengan kebersihan air Sungai Musi padahal dari sungai inilah mereka hidup, dari air sungai ini pula mereka minum. Apakah mereka tidak pernah berpikir bagaimana bila air Sungai Musi tercemar limbah, rusak dan akhirnya kering, yang rugi adalah mereka sendiri.

Sekarang dibanyak tempat di Sungai Musi sudah banyak dipasang papan peringgatan untuk selalu menjaga kelestarian sungai dan kebersihan airnya. Semoga rakyat sekitar Sungai Musi semakin sadar untuk menjaga sungai mereka agar air sungai musi dapat terus dimanfaatkan. Dan untuk kita semua mulai sekarang harus ditanamkan rasa peduli menjaga sungai di sekitar kita karena dari sungailah sumber kehidupan berasal dan dari sungai pula sumber peradapan dimulai.

“Save our river. Save our water.”

Aktivitas Sehari-hari Warga Sekitar Sungai Musi
Senyum Polos Dari Wajah-Wajah Yang Bahagia
Kumpul Bersama Di Sore Hari Di Tepian Sungai
Para Calon Atlet Loncat Indah Indonesia Lahir Dari Pinggiran Sungai Musi
Senyum Sang Calon Jawarah Loncat Indah
Gotong Royong Adatnya Wong Palembang
Pelampung Plastik, Kreatif Atau Sekedar Iseng??
Kecerian Anak-Anak Sungai Saat Bermain Bersama
Tawa Tulus Yang Sangat Lepas Dari Sang “Anak Sungai”
Salah Satu Aliran Sungai Dari Anak Sungai Musi
Sang Pemancing, Sedang Menanti Hasil Pancingannya Yang Belum Kunjung Dapat
Kapal Bersandar Di Daerah Kampung Kapitan
Mall 16 (Sixteen)
Mengenaskan, Banyak Limbah Di Sungai, Mana Kepedulian Masyarakat??
Sungai Kita Kini!!! Semua Orang Harus Peduli Dengan Kebersihan Lingkungan Terutama Sungai !!!
Keadaan Sungai Disalah Satu Anak Sungai Dari Sungai Musi
JAGALAH DAN LESTARIKAN SUNGAI. JANGAN MEMBUANG SAMPAH KE SUNGAI !!!
Pasar Di Pinggir Sungai Sekanak (Anak Dari Sungai Musi)

Lokasi : Pinggiran Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan
Jenis kamera : Sony Prosumer Cyber Shot DSC-H50
Waktu pengambilan : Pukul 17:22:28 wib, 13 Oktober 2010
By Adrian Fajriansyah (14/10/2010)